Pangeran Dari Negeri Dongeng


REALITA ITU
Kriteria :
- Berwajah cantik dan berkulit putih
- Profesi tertentu ( ex  dokter, perawat, de el el )
- Usia 2 tahun atau 3 tahun dibawah saya
- Suku sunda/ Jawa
Afifah mengerenyit, keningnya berlipat-lipat, hatinya berdegup kencang. Dibolak-baliknya berkali-kali kertas dihadapannya. Mencari-cari sesuatu yang tidak juga ditemukannya. Ga salah? Yang Fifah tahu ikhwan ini adalah ikhwan aktivis, namun tak satupun kriteria da’wah dan semangat da’wah yang ia temukan dalam biodata itu. Air matanya tiba-tiba mengalir, ada luka disana. Saat ikhwan aktivis hanya punya kriteria ece-ece untuk menikah. Cantik dan berkulit putih, lagi-lagi kriteria standar yang begitu sering Afifah temukan. Memang kalau kulitnya hitam dan tidak cantik dosa ya ? ( Fifah, jangan sinis gitu atuh !!!! ) Sahabat, kecantikan dan kulit yang putih itu hanyalah jasad yang pasti akan pudar, seiring usianya. Ini bukan kriteria ukhrawi. Ini adalah sesuatu yang sangat sementara, bila kelak istri sahabat tak lagi cantik dan kulitnya kian mengkerut karena usia, apakah sahabat akan meninggalkannya dan mencari penggantinya seorang akhwat muda yang cantik dan berkulit putih ??? Jika jasadi sudah menjadi kriteria utama yang antum tempatkan di posisi utama, ini menjadi hal yang sangat berat untuk memberikan ketenangan dalam hati para akhwat. Belum lagi profesi-profesi pilihan, dengan berbagai alasan. Bukankah profesi utama kita da’i? Nahnu duat qobla kuli sa’i. Jika kriteria mendasar adalah hal ini, satu saat nanti akan sulit untuk kembali pada cita-cita awal. Kenapa sahabat menikah ???

IKHWAN JUGA MANUSIA
( Afifah…..ikhwan juga kan manusia ). Aduh siapa sih yang dari tadi ngebelain terus, Afifah masih mencak-mencak. Iya, ikhwan juga manusia biasa, yang punya banyak kecenderungan. Kulit putih, mata indah, hidung mancung, leher jenjang, tubuh langsing….cukup-cukup…afifah protes pada suara itu. Wajar ko fah, ikhwan ingin punya istri yang cantik, pintar, aktivis…Afifah termenung, seperti inikah kualitas ikhwan akhir jaman ?? Maka siapakah yang bertanggung jawab, yang mau memilih ikhwan akhwat aktivis yang tidak cakep dan tidak cantik meski ia telah menyerahkan dirinya bagi dien ini. Suara itu kembali berujar, jangan khawatir fifah, akhwat-akhwat itu akan mendapatkan ikhwan yang sholeh, demikian pula sebaliknya. Seperti Ibnu Abbas, yang meskipun tampan rupanya ia berkenan menikahi seorang shahabiyah yang tidak cantik. Atau seperti Zaid bin Haritsah yang menikahi ummu Aiman yang usianya sangat jauh lebih tua hanya karena kesholihan Ummu Aiman, yang kemudian melahirkan pemimpin perang termuda Usamah bin Zaid. Afifah masih termenung, ya…ikhwan juga manusia. Semoga yang meniatkan untuk mendapatkan pasangan hidup hanya karena jasadinya, semoga itu saja yang didapatkannya ( Iffah….jangan mendoakan yang tidak baik ).
Tiba-tiba, afifah menjadi sangat penasaran…jika ikhwan-ikwan senantiasa mengharapkan akhwat-akhwat yang cantik, memang setampan apa mereka hingga sulit menerima akhwat yang kurang cantik ??? Seperti nabi Yusufkah ? Setampan….hehe…siapa ya ??? ( soalnya cakep menurut afifah suka beda sama orang kebanyakan…menurut dia semua orang sholeh itu cakep…fah, cakep ama sholeh itu beda tau ). Sudahkah mereka bercermin dari diri sendiri ?? ( Iffah cukup…!)

KEMANA HARUS DICARI
Afifah termenung, entahlah rasanya ada yang salah dengan hal ini. Entah berapa kali biodata yang masuk untuk binaannya maupun proses-proses yang dibantunya membuatnya mengelus dada. Request-request yang ada kadang membuat hatinya pilu.Rindu kembali pada asolah da’wah, rindu sahabat-sahabatnya terdahulu, yang menikah karena ketsiqohan dan kepentingan da’wah. Disatu lini da’wah yang kuat sekalipun, disebuah laboratorium da’wah yang menghasilkan para aktivis kini terkuak suatu hal yang patut dicermati. Saat para aktivis disibukkan dengan urusan ini, take in pasangan, memilih sendiri dengan menjalankan berbagai manuver , biodata bertebaran entah lewat jalur apa, virus merah jambu, hubungan tanpa status, hingga kelonggaran yang diberikan terkadang oleh para pembinanya sendiri. Sementara luka da’wah kian menganga di mana-mana. Wahai sahabatku, sebenarnya apa yang dicari….hendak kemana kaki ini melangkah….
Fifah, dari segi syar’i tidak masalah ko berbagai ikhtiar yang mereka lakukan. Jangan terlalu ekstrim dan idealis. Itu cuma ada di buku dan negeri dongeng. ( Tapi kan ada sistem yang mengatur kita, fifah tetap keukeuh ) Ayolah fah wake up, jangan terus bermimpi…jaman sudah berubah. Kita tak lagi seperti dulu. Mereka terkadang memberikan banyak kriteria, dan disisi lain juga banyak ikhwan yang tidak siap menikah meski tidak ada alasan yang membuat mereka menunda pernikahannya. Semakin sedikit yang siap dengan resiko menikah dini. Sudahlah fah…
Fifah memonyongkan mulutnya, cemberut, beberapa hari ini dia uring-uringan. Ia sangat menyadari bahwa tidak mudah bertahan dalam idealisme. Melewati jalur syar’i yang telah ada. Mentsiqohkan seorang mujahid pada RabbNya melalui mekanisme dan cara terbaik yang telah difasilitasi oleh da’wah. Namun jika kebanyakan para aktivis mulai meninggalkan sistem ini maka siapakah yang akan menempuhnya? Saat ketsiqohan menjadi suatu harga mahal atas pilihan. Fifah menerawang, ia tahu saat menuliskan ini mungkin akan banyak pro dan kontra. Atau bahkan akan ada yang berkata, fifah buktikan saja, lagi-lagi tentang menikah. Namun fifah tahu ia sedang memperjuangankan yang benar, mencoba memahamkan sesuatu yang asing pada sahabat-sahabatnya, meski usia yang mungkin terlalu jauh untuk dapat memahami. Fiffah ingin berbagi tentang kehangatan visi da’wah dan pernikahan, kelak semoga ini menjadi bekal bagi kita semua.
KONTRAK AKHIRAT
Da’wah mengajarkannya bahwa saat dirinya meneken kontrak perdagangan yang terbaik dengan RabbNya, saat itulah dirinya telah menyerahkan sepenuh hidupnya untuk diatur Rabbnya. Untuk bergerak sesuai dengan manhaj yang diyakininya. Untuk tsiqoh terhadap ketetapan jamaah yang telah ada semata sebagai bentuk amalnya untuk memperkokoh tandzhim da’wah. Segala urusannya tidak lagi menjadi sesuatu yang personal, tapi lebih dari itu segala urusannya menjadi urusan da’wah. Saat memilih untuk menjadi da’I maka saat itu pula kontrak untuk menjadi qudwah mulai dijalankan. Termasuk dalam masalah munakahat ( pernikahan ), idealnya sebagai seorang aktivis da’wah ia harus siap menikah dengan siapa pun yang dipilihkan da’wah baginya ( meski tetap melalui proses-proses yang seharusnya, yang tidak menutup kemungkinan untuk gagal ataupun berhasil ). Bagaimana dengan rasa ? Manusiawinya kita? Rasa boleh saja hadir mengganggu hati kita, namun semua itu adalah sebuah ujian tuk kuatkan kita, tuk ajarkan kita mengendalikan rasa. Itulah mengapa baiknya janganlah menisbatkan satu cinta pada yang belum berhak untuk dicintai. Qobla akad, cinta kita hanyalah milik Rabb kita. ( Ba’da juga sih….hehe.)
Berbagai kondisi real saat ini menyadarkan afifah, bahwa mungkin ada yang salah dalam proses penyampaian tarbiyah ini hingga munculah berbagai kondisi yang tidak ideal. Lemahnya qudwah dan ketsiqohan. Munculnya berbagai qhadaya justru dari kalangan internal para aktivis, ini patut menjadi intropeksi bagi kita. Tidak mudah menjadi ideal, tidak mudah menjadi qudwah, tidak mudah melawan nafsu diri, namun bukankah seorang mujahid adalah yang terbiasa menghadapi kesulitan. Yang bertekad baja dan tak pernah mengeluh meski terasing dengan ke ghuraba-annya.Inilah jalannya dan inilah langkahnya.
SATU TSIQOH
Fifah mentsiqohkan pasangan hidupnya di dunia hanya pada Yang Maha Kuasa, Allah SWT. Melalui wasilah dan sistem yang ia tsiqohi. Mungkin tidak mudah mencari ikhwan mujahid akhir jaman. Yang mau menikah untuk memperkokoh tandzim da’wah. Yang mau menikahi akhwat bukan semata karena putih hitam kulitnya, cantik buruk rupanya, prospektif tidak profesinya. Tapi karena da’wahnya, karena kestiqohannya pada jamaah. Afifah menyadari ia hanyalah akhwat akhir jaman yang tidaklah baik, hanya belajar menjadi baik. Afifah hanya mohon pada Allah SWT untuk memberikannya seorang mujahid da’wah yang bersedia berjihad bersama menuju jannahNya dengan segala potensi kelebihan dan kekurangan yang mereka miliki. Dan jika yang terbaik menurutNya bukanlah yang terbaik menurut afifah, dia hanya mohon padaNya tuk kuatkannya istiqomah dijalanNya dan mendapat pasangan terbaik dijannahNya.
Apakah ini akan menjadi sebuah mimpi, tentang seorang pangeran dari negeri dongeng. Mujahid yang menikah dijalan da’wah dengan niat yang ikhlas untuk menguatkan tandzhim da’wah. Niat yang baik jika dikemas dengan amal yang baik, dan cara terbaik semoga kelak menjadi berkah bagi keluarga da’wah yang terbentuk. Karena da’wah, bersama da’wah, untuk da’wah… Hidup ini hanyalah sementara, menikah boleh jadi sesuatu yang tidak pasti kita alami, tapi meninggal adalah suatu keniscayaan. Semoga kelak kita dapat mempertanggungjawabkan setiap langkah kita dengan bangga dihadapan Rabb kita. Wallahualam bishawab
“ Fah, fifah bangun, ayolah jangan terus bermimpi…itu cuma ada dinegeri dongeng” Afifah memejamkan matanya lekat, ia tak mau bangun. Karena ia yakin ini bukanlah mimpi. Akan selalu ada satu generasi yang asing. Sekelompok mujahid-mujahidah dengan idealisme ini. Dan semoga adik-adiknya, saudara-saudara seperjuanganya adalah mujahid-mujahidah itu.
Azsya / dr. Anita Asmara
Refleksi pergerakan, kritikan atas berbagai kelonggaran yang terjadi di lini da’wah. Mulailah dari diri kita sendiri.Memilih bersama idealisme, dan tsiqoh bahwa kesabaran, ketaatan, pengorbanan akan berbuah kebaikan dan keberkahan.Dirangkum dari berbagai realita beberapa proses ikhwah yang patut dicermati. Suara hati afifah bukan suara hati seorang akhwat, namun insya Allah refleksi dari suara hati ikhwan dan akhwat lainnya.Wallahualam bishawab.

Comments

  1. semoga kita mendapat pasangan hidup yang sholeh, baik untuk dunia dan akhirat kita.jilbab gaby

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Pertolongan Allah Kepada Mujahiddin Gaza

Tips Sukses Bisnis dari Rumah Halal Mart HPAI